Minggu, 23 Agustus 2009

Indonesia, Importir Pangan Sejati

Ada apa dengan negeri ini. Negeri yang konon makmur dengan alamnya yang subur, malah jadi importir pangan sejati. Kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang bias industri mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan warga. Akibatnya, Indonesia kian terjebak dalam arus impor pangan.

Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun devisa setiap tahun terkuras untuk impor pangan.

Ketergantungan terhadap pangan impor menempatkan Indonesia pada kondisi dilematis. Fluktuasi harga pangan dunia siap menguras devisa lebih besar lagi. Sendi ekonomi bangsa bisa ambruk kapan saja apabila pasokan dari luar terhenti total karena berbagai alasan.

Krisis kedelai tahun 2007 menjadi pelajaran berharga betapa ketergantungan terhadap pangan impor memicu gejolak sosial masyarakat karena harga tempe dan tahu melonjak tajam. Pasokan impor pun minim. Padahal, kedua produk makanan itu menjadi makanan favorit sebagian besar rakyat Indonesia.

Di sisi lain pengadaan pangan dari dalam negeri, seperti beras, tebu, dan jagung, juga rentan. Munculnya ancaman kekeringan yang lebih lama akibat fenomena iklim El Nino kian mengkhawatirkan.

Garampun Impor
Data menunjukkan, setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara dengan Rp 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Angka itu sekitar 5 persen dari APBN.

Komoditas tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor sebanyak 1,58 juta ton per tahun senilai Rp 900.

Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (Rp 5,95 triliiun), gandum 2,25 miliar dollar AS ( Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar).

Berdasarkan data dari Departeman Perindustrian, impor bahan baku susu bagi industri susu maupun industri makanan mencapai 655 juta dollar AS per tahun. Bila ditambah impor dalam bentuk produk olahan, angkanya naik 140 juta dollar AS lagi menjadi 795 juta dollar AS. (Dikutip dari Kompas, 24 Agustus 2009. Foto: detik.com)
Baca lagi...

Kamis, 06 Agustus 2009

KPK Pun Ikutan Korupsi

Lembaga yang seharusnya berada di posisi terdepan memberi contoh untuk tidak korupsi, ternyata juga tidak kebal. Antasari Azhar, Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membongkar rahasia rumah tangga. Bukan rahasia kehidupan keluarga, melainkan rahasia badan bergengsi, KPK. Demikian tulis editorial Media Indonesia(Kamis 6/8).

Dalam pengakuan kepada polisi, seperti tertera dalam BAP, Antasari yang diberhentikan karena dituduh terlibat pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, mengungkapkan sebuah kejadian yang mencengangkan.

Beberapa komisioner KPK, katanya, menerima suap dari Anggoro Widjaja yang buron agar pengusutan kasusnya dihentikan.

Banyak yang terkejut tidak percaya. Bagaimana mungkin komisioner KPK yang gencar memberantas korupsi dan disanjung-sanjung sebagai badan yang berisi orang-orang terpuji bisa melakukan itu? Namun, banyak juga yang melihatnya sebagai sesuatu yang wajar.

Selama para komisioner itu manusia, tidak ada jaminan mereka tidak tergoda korupsi. Korupsi di Indonesia telah mewabah dan merasuki di mana-mana. Bahkan banyak juga yang memuji kejujuran Antasari membuka aib KPK, lembaga yang pernah ia pimpin. Dengan demikian, kita bisa dan harus bersikap lebih jernih melihat badan itu. Bahwa sesungguhnya KPK tidak dihuni dan dipimpin para malaikat.

Kejujuran di negeri dengan mentalitas korupsi yang mewabah amatlah dekat dengan kebodohan, sedangkan kelicikan bertetangga rapat dengan kepintaran. Dalam pengertian ini kita harus mengatakan kejujuran Antasari langka dan amat berharga.

Dia berharga untuk menegaskan kembali sebuah sikap kolektif terutama di kalangan elite bahwa KPK sebagai lembaga harus dibela dan dipertahankan. Karena itu, demi wibawa dan harapan publik yang besar pada lembaga ini, orang-orang di KPK yang terbukti menodai misi suci lembaga tersebut harus dibersihkan. Dan, karena polisi sudah memperoleh indikasi dari pengakuan Antasari, di tangan polisilah sekarang pemurnian KPK bergantung.

Polisi harus mengusutnya sampai tuntas. Jangan sampai pengakuan Antasari dijadikan semacam barter untuk saling menutupi aib. Bagi banyak orang yang melek situasi, kepolisian dan KPK sekarang sedang terlibat pertarungan seperti cecak melawan buaya. KPK, meski super, tetap saja cecak. Janganlah berani-berani melawan buaya.

Superioritas KPK memang sedang menghadapi tantangan berat. Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang kurang bersemangat dibahas di DPR, adalah sebuah bentuk upaya amputasi terhadap kewenangan KPK. Belum lagi keluhan bahwa lembaga ini tidak ada yang mengontrol sehingga hanya bertanggung jawab kepada Tuhan.

Pengakuan Antasari adalah sebuah momentum untuk membersihkan oknum-oknum KPK yang menodai kesucian lembaga ini. Ganti dan hukumlah oknum yang bersalah, dan tunjuklah orang baru yang lebih mampu menjaga integritas diri dan integritas KPK itu sendiri.

KPK sesuai dengan semangat awal adalah lembaga super dan oleh karena itu, tidak dimaksudkan untuk menjadi lembaga permanen. Itu karena KPK bertumpang-tindih dengan lembaga penegakan hukum yang sudah ada, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Hanya, kapan KPK dibubarkan sangat bergantung pada integritas dan profesionalitas kejaksaan dan kepolisian dalam penegakan hukum, terutama dalam perkara pemberantasan korupsi.

KPK dilahirkan karena ketidakpercayaan publik yang terlalu mendalam terhadap komitmen penegakan hukum oleh kejaksaan dan kepolisian, terutama selama tiga dasawarsa Orde Baru.

Kejujuran Antasari mengungkap praktik tidak terpuji komisioner KPK, dengan demikian, harus dilihat sebagai kepintaran, bukan kebodohan. Tinggal menunggu kejujuran polisi untuk mengusut dan menghukum. Dalam hal ini bolehlah buaya menjewer cecak. (Sumber: MediaIndonesia.com, 6/8/2009)
Baca lagi...

Kuliah Pertanian Kurang Diminati

Dalam lima tahun terakhir, minat calon mahasiswa pada program studi pertanian dan peternakan di perguruan tinggi negeri terus menurun.

Kenyataan ini, jika terus dibiarkan bisa menjadi bom waktu karena tak akan ada lagi lulusan pertanian.

Penurunan minat calon mahasiswa pada program studi pertanian, sebetulnya sudah diantisipasi dengan penggabungan. Namun, solusi itu tidak efektif jika pemerintah tidak melakukan terobosan di bidang pertanian. Terutama menyangkut pangsa kerja. Karena pasar kerja di bidang pertanian, peternakan, perikanan dinilai belum menjanjikan. Demikian Ketua Umum Seleksi Nasional Masuk Perguruan TInggi Negeri(SNMPTN) Haris Supratno di Jakarta. (Kompas, 30 Juli 2009)

“Selama Pemerintah tidak memprioritaskan pertanian, sia-sia apa yang dilaksanakan perguruan tinggi,” kata Rektor Institut Teknologi Sepuluh November Priyo Suprobo.

Sungguh merupakan ironi bagi Indonesia yang merupakan negara agraris.
Baca lagi...