Kamis, 06 Agustus 2009

KPK Pun Ikutan Korupsi

Lembaga yang seharusnya berada di posisi terdepan memberi contoh untuk tidak korupsi, ternyata juga tidak kebal. Antasari Azhar, Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membongkar rahasia rumah tangga. Bukan rahasia kehidupan keluarga, melainkan rahasia badan bergengsi, KPK. Demikian tulis editorial Media Indonesia(Kamis 6/8).

Dalam pengakuan kepada polisi, seperti tertera dalam BAP, Antasari yang diberhentikan karena dituduh terlibat pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, mengungkapkan sebuah kejadian yang mencengangkan.

Beberapa komisioner KPK, katanya, menerima suap dari Anggoro Widjaja yang buron agar pengusutan kasusnya dihentikan.

Banyak yang terkejut tidak percaya. Bagaimana mungkin komisioner KPK yang gencar memberantas korupsi dan disanjung-sanjung sebagai badan yang berisi orang-orang terpuji bisa melakukan itu? Namun, banyak juga yang melihatnya sebagai sesuatu yang wajar.

Selama para komisioner itu manusia, tidak ada jaminan mereka tidak tergoda korupsi. Korupsi di Indonesia telah mewabah dan merasuki di mana-mana. Bahkan banyak juga yang memuji kejujuran Antasari membuka aib KPK, lembaga yang pernah ia pimpin. Dengan demikian, kita bisa dan harus bersikap lebih jernih melihat badan itu. Bahwa sesungguhnya KPK tidak dihuni dan dipimpin para malaikat.

Kejujuran di negeri dengan mentalitas korupsi yang mewabah amatlah dekat dengan kebodohan, sedangkan kelicikan bertetangga rapat dengan kepintaran. Dalam pengertian ini kita harus mengatakan kejujuran Antasari langka dan amat berharga.

Dia berharga untuk menegaskan kembali sebuah sikap kolektif terutama di kalangan elite bahwa KPK sebagai lembaga harus dibela dan dipertahankan. Karena itu, demi wibawa dan harapan publik yang besar pada lembaga ini, orang-orang di KPK yang terbukti menodai misi suci lembaga tersebut harus dibersihkan. Dan, karena polisi sudah memperoleh indikasi dari pengakuan Antasari, di tangan polisilah sekarang pemurnian KPK bergantung.

Polisi harus mengusutnya sampai tuntas. Jangan sampai pengakuan Antasari dijadikan semacam barter untuk saling menutupi aib. Bagi banyak orang yang melek situasi, kepolisian dan KPK sekarang sedang terlibat pertarungan seperti cecak melawan buaya. KPK, meski super, tetap saja cecak. Janganlah berani-berani melawan buaya.

Superioritas KPK memang sedang menghadapi tantangan berat. Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang kurang bersemangat dibahas di DPR, adalah sebuah bentuk upaya amputasi terhadap kewenangan KPK. Belum lagi keluhan bahwa lembaga ini tidak ada yang mengontrol sehingga hanya bertanggung jawab kepada Tuhan.

Pengakuan Antasari adalah sebuah momentum untuk membersihkan oknum-oknum KPK yang menodai kesucian lembaga ini. Ganti dan hukumlah oknum yang bersalah, dan tunjuklah orang baru yang lebih mampu menjaga integritas diri dan integritas KPK itu sendiri.

KPK sesuai dengan semangat awal adalah lembaga super dan oleh karena itu, tidak dimaksudkan untuk menjadi lembaga permanen. Itu karena KPK bertumpang-tindih dengan lembaga penegakan hukum yang sudah ada, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Hanya, kapan KPK dibubarkan sangat bergantung pada integritas dan profesionalitas kejaksaan dan kepolisian dalam penegakan hukum, terutama dalam perkara pemberantasan korupsi.

KPK dilahirkan karena ketidakpercayaan publik yang terlalu mendalam terhadap komitmen penegakan hukum oleh kejaksaan dan kepolisian, terutama selama tiga dasawarsa Orde Baru.

Kejujuran Antasari mengungkap praktik tidak terpuji komisioner KPK, dengan demikian, harus dilihat sebagai kepintaran, bukan kebodohan. Tinggal menunggu kejujuran polisi untuk mengusut dan menghukum. Dalam hal ini bolehlah buaya menjewer cecak. (Sumber: MediaIndonesia.com, 6/8/2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar